Menikah itu Belajar

Menikah itu mudah yah? Tidak kok! Berarti sulit? Tidak jugalah! Jadi apa?

Menikah itu belajar. Ada kalanya kita merasa sulit, adakalanya merasa mudah. Seperti  ketika kita mengerjakan soal-soal di sekolah, atau menjawab essay suatu UAS, atau ketika kita harus menyelesaikan suatu kerja praktek. Sulit tapi mudah. Mudah tapi sulit. Dan semua terangkum dalam satu kata kerja “belajar”. Yang namanya belajar berarti sifatnya kontinyuitas. Karena belajar yang berhenti ditengah jalan artinya tidak akan menemukan titik akhir tujuannya. Dan rasanya sia-sia jika kita melakukan sesuatu tanpa ada keinginan untuk menemukan titik akhirnya. Lalu apa titik akhir tujuan belajar? Ya, betul, ia adalah memahami, menjadi paham, menjadi mengerti, menjadi bisa, menjadi tahu. Itulah belajar. Pun pernikahan, ia adalah belajar.

Pernikahan. Asal katanya adalah nikah. 5 huruf saja, tapi maknanya dahsyat. Bukan hanya dahsyat, tapi juga berat. Mitsaqon gholizho, begitu Al-qur’an mengistilahkan kata pernikahan: perjanjian yang berat. Maka harus hati-hati, tidak bisa asal sembarangan, apalagi pakai tidak memakai ilmu, terlebih hanya memakai feeling. Dan wanita, sebagai istri adalah salah satu momok utama di dalam pernikahan. Ialah pendamping setia, ialah senyum, ialah ladang amal, ialah pengingat, ialah rindu, ialah cinta,,, ialah tulang rusuk suaminya. co-pilot setia. Perhiasan rumah tangga. Gula pada setiap tatapan cinta. Seribu rasa dalam dekapannya. Ia sang pelahir generasi muda. pintu surga bagi anak-anaknya. Mulia. Harus menjadi mulia jika ingin disebut sebagai istri shalihah.

Pada akhirnya aku sadar bahwa menikah adalah harapan menuju harapan yang paling besar. Selalu butuh bahan bakar untuk bisa mengendarainya. Iman, amal dan ilmu. Dan semua perjalanan terangkum menjadi kata “belajar”. Belajar lagi, memang tak bisa lepas. Belajar adalah dasar dari setiap perjalanan pernikahan. Bukan berarti setiap kesalahan dimaklumi, apalagi menjadi alasan untuk meninggalkan, namun setiap kesalahan diperbaiki sambil memohon ampun dan petunjuk-Nya. Bukan pula setiap keberhasilan dipamer-pamerkan, apalagi menjadi alat untuk merendahkan yang lain, namun setiap keberhasilan menjadi ladang syukur, menjadi pembelajaran untuk yang lain.

Alloh, 3 bulan dan aku belajar. Menjadi cukup paham mengapa hidup seakan dimulai setelah menikah, mengapa menikah adalah pilihan yang tepat bagi umat Islam untuk meraih ridho-Mu, dan mengapa menikah menjadi kendaraan besar menuju Surganya.

Dan kini, semakin aku paham semakin aku pula takut..

Ya, aku sebenarnya takut tidak mampu meraih surga itu, bersama suamiku sebagai pilotnya, aku sebagai co-pilotnya dan anak-anak sebagai penumpangnya. Takut kami lalai, takut kami tidak sabar, takut kami kufur nikmat. Namun aku tidak ingin rasa takut ini memunculkan prasanagka buruk yang asal, apalagi sampai merusak harapan. Ya, Kuncinya adalah percaya. Maka aku akan tetap berjuang. Belajar. Sampai menemukan titik akhirnya. Dan tiada titik akhir dari perjalan ini selain surga-Mu, Rabb. tiada yang lain..

Ruang Tamu Rumah Pondok Kopi, 27 Juni 2011
Diantara bau ikan sedap buatan Ayah Mertua. (makasiy Ayah)
Usia kandungan: 11 pekan 2 hari
Category: 0 komentar

0 komentar:

Post a Comment