Oleh, Dwi Asri anggianasari
Alhamdulillah,, setelah sekian lama "cuti" dari dunia tulis menulis, akhirnya Ang mengubris rasa rindu untuk kembali. Dimulai dari fiksi. Mudah-mudahan kedepan bisa kembali aktif di tulisan ilmiah. Bismillah, semoga Alloh memberikan jalan kemudahan bagi Gemanggi untuk berdakwah melalui tulisan. Amiin.. :)
Silahkan tulisannya di kritik, apa aja asal menggunakan kata-kata yang sopan :P
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Ummi, maaf, kemarin Nur tak sengaja mendengar pertanyaan Ummi Sogi pada Ummi”, akhirnya kuberanikan diri untuk memulai membahas hal ini. Ummi yang sedang memotong-motong sayuran di tengah dapur hanya menoleh sedikit padaku. Senyumnya tetap ada, tetap manis seperti setiap harinya. Lalu hening. Tak ada jawaban dari Ummi. Ah, bagian mana yang harus Ummi jawab, bukankah kalimatku adalah pernyataan. Tapi setidaknya Ummi merespon dengan satu kata, mengapa tidak? Hatiku gemas ingin sekali lagi melontarkan kalimat yang sama. Namun urung. Aku sadar aku tak tahu apa-apa. Bahkan apa yang Ummi pikirkan setelah mendengarku tadi pun aku tak tahu. Ya sudah, tak apa. Lain kali saja, Ummi.
“Ummi tahu kamu dengar perbincangan Ummi dengan Ummi Sogi,” jawab Ummi ketika baru saja aku hendak melangkah keluar dapur. Kulihat Ummi masih melanjutkan memotong-motong sayuran untuk dibuat Sayur Sop nanti malam. Lalu Ummi mengangkat kepalanya dan menantapku teduh. Aku menunggu kalimat apa selanjutnya yang akan keluar dari bibir Ummi-ku yang cantik ini.
“Tolong dicuci kentangnya ya, Nur. Ummi mau ke kamar mandi sebentar,” lanjut Ummi. Mulutku menganga hendak bertanya sesuatu. Namun cepat-cepat kututup lagi, urung. Tak berani. Bukan takut Ummi marah karena aku tahu Ummi tidak akan pernah marah hanya karena aku bertanya. Tapi aku takut kalau-kalau yang akan kulihat adalah tatapan Ummi seperti 1 tahun lalu itu.
Aku masih dapat mengingat cukup jelas bagaimana tatapan mata Ummi ketika mendengar pertanyaan pendek yang kulontarkan begitu saja tanpa maksud apapun padanya satu tahun lalu itu. Menerawang mengingat-ingat sesuatu yang membuat hatinya perih. Rindu yang teramat sangat dalam pada seseorang yang ia cinta. Matanya mungkin menangis, kepalanya mungkin menggeleng karena menahan air mata yang hendak jatuh, tangannya mungkin mengepal karena menahan rasa sakit yang masih menyeruak di dalam ruang kosong hatinya, namun bibirnya tersenyum. Senyum yang begitu indah hingga tidak bisa digambarkan lewat seribu kata. Mungkin hanya saksi mataku yang mampu mendeskripsikan dalamnya makna dari tatapan Ummi, namun itu pun kemudian tak mampu kuejawantahkan lewat kata. Pada akhirnya hanya bisa kusimpan dalam hati: betapa rindunya, betapa cintanya, betapa sakitnya hati seorang istri yang ditinggal sang suami. Sebuah jawaban singkat walau hanya berupa senyuman getir namun mengandung beribu makna, atas pertanyaan pendekku tentang bagaimana proses Ummi saat melahirkanku 18 tahun y ang lalu. Ya, Rabb, adakah pertanyaanku telah menyakiti hati Ummi?
***
“Ummi Ifa, sekarang Nur sudah kuliah di UI yah? Dapat jurusan apa? Duuh, si Nur itu udah cantik, cerdas, shalihah lagi. Suruh dia nikah aja, Ummi. Biar nggak jadi fitnah lho! Hehe”, ejek Ummi Sogi pada Ummi. Aku yang tak sengaja mendengar kata-kata itu jadi tersipu malu. Hush! Istighfar, Nur! Ujian itu namanya. Hihihi, tetap saja tidak bisa menahan tertawa. GR aja! Kulihat Ummi juga ikut tersipu. Kulitnya yang putih bersih membuat wajah teduhnya semakin enak dipandang. Ummi memang paling pemalu dan pendiam diantara teman-teman se-liqo-annya. Cocoklah Ummi bersahabat dengan dengan Ummi Sogi yang ceriwis.
“Iya, Alhamdulillah Nur sudah kuliah di Fakultas Teknik, UI. Baru masuk bulan kemarin,” jawab Ummi singkat. Wajah Ummi Sogi semakin sumeringah mendengar jawaban Ummi. Rupanya Ummi Sogi sudah siap dengan ejekan berikutnya.
“Tuh, tuh kan! Fakultas Teknik kan banyak laki-lakinya lho, Ummi Ifa! Segera nikahkan itu si Nur. Sama anak saya mau yah,”Ummi Sogi tambah jahil. Spontan Ummi membelalakkan matanya dan langsung celingak-celinguk. Mungkin sedang mencoba memeriksa apakah ada aku yang ikut mendengar. Aku pun jadi ikut keki dan reflek melangkah mundur dari tempat semula aku menguping.
“Heee, bercanda, Ummi Ifa. Segitunya sampai melotot,” lanjut Ummi Sogi cepat-cepat. Mata Ummi yang melotot langsung berubah teduh lagi lalu tertawa ringan bersama dengan Ummi Sogi. Persahabatan yang unik, kataku dalam hati. Bu Sogi itu sebenarnya teman se-SMA dengan Ummi. Tapi karena Ummi tipe muslimah yang agak pendiam, Ummi Sogi jadi takut untuk dekat dengan Ummi saat itu. Kata Ummi, saat SMA Ummi Sogi masih berjilbab pendek dan pecicilan, jadi katanya takut diceramahin sama Ummi yang sudah berjilbab lebar. Justru, saat kuliahlah mereka bertemu lagi dan Ummi Sogi merubah persepsinya. Ternyata Ummi kamu itu lemah lembut, kata Ummi Sogi suatu hari padaku. Iya dong! Ummi siapa dulu!
“Ummi Ifa, apa tidak kesepian?” tanya Ummi Sogi sesaat setelah tertawa reda. “Kali ini aku serius, Umm. Apa kamu tidak kesepian?”, tanya Ummi Sogi sekali lagi. Aku yang ikut mendengarkan dari dalam merasa cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Segera kulihat tatapan mata Ummi Sogi untuk memastikan apakah dia benar-benar serius dengan pertanyaan itu. Jantungku rasanya melamban, menunggu respon Ummi atas pertanyaan Ummi Sogi. Yang ditanya malah tersenyum namun tetap belum mengucapkan satu patah kata pun. Ku lihat Ummi Sogi hendak mengucapkan kalimat lagi. Namun tak jadi. Ummi-ku keburu menjawab.
“Aku punya Alloh, Umm. Aku juga punya Nur yang setiap hari membuatku bahagia. Rasanya sudah sangat nikmat melihat Nur tumbuh menjadi muslimah yang dewasa, cerdas, cantik, dan yang paling penting rajin ibadahnya. Ndak, insya Alloh, aku ndak kesepian. Apalagi ada Ummi Sogi yang sering mampir kesini. Duh, jauh dari kata kesepian deh kayaknya, Umm,” jawab Ummi enteng sambil tetap tersenyum manis. “Sirupnya diminum dong, Ummi Sogi. Capek tuh bikinnya,” Goda Ummi. Ummi Sogi langsung mengambil gelas yang berisi sirup rasa jeruk buatan Ummi dan menyeruputnya pelan-pelan.
Aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan setelahnya. Aku langsung pergi menuju kamarku. Ada yang mengganjal dalam hati ini. Rasa perih. Kecewa. Bukan, Rabb, sungguh bukannya aku menginginkan Ummi berkata “iya, aku kesepian”. Bukan itu, Rabb. Bukan! Namun aku sungguh kecewa karena Ummi tidak jujur, bahkan pada sahabatnya sendiri. Bahkan padaku. Mungkin juga pada dirinya sendiri. Aku lihat, Rabb. Aku lihat bagaimana tatapan mata Ummi saat pertanyaan itu terlontar dari Ummi Sogi. Betapa mata itu menunjukkan keterkejutan karena merasa tertangkap basah. Ummi mungkin mampu untuk tersenyum manis dan menjawab pertanyaan Ummi Sogi dengan candaan ringan. Namun aku lihat, Rabb. Aku lihat tatapan mata Ummi begitu perih.
Alloh, aku mungkin memang merindukan sosok ayah. Tapi bagiku, Ummi sudah mampu meredakan kerinduan itu. Bagaimana dengan Ummi sendiri? Ummi, Nur ikhlas jika Ummi ingin menikah lagi. Ummi masih muda, masih cantik, silahkan menikah lagi. Nur ikhlas, demi Alloh. Asalkan lelaki itu adalah lelaki yang shalih, yang mampu membawa kita berdua ke surge Alloh. Ingin rasanya kukatakan semua itu. Ingiin sekali…
***
“Sudah dicuci kentangnya, Nur?” aku terkejut, suara Ummi membuyarkan lamunanku.
“Masya Alloh! Belum Ummi. Maaf, Nur lalai pada amanah,” jawabku cepat dan langsung menuju kie tempat Ummi meletakan kentangnya. Ku cuci gesit di tempat cuci piring. Air mengalir begitu dingin mengenai tanganku, namun air mata yang juga ikut mengalir lebih terasa dingin di pipiku. “Kali ini biar Nur yang masak ya, Ummi. Ummi istirahat saja ya,” kataku pada Ummi. Ummi tersenyum senang mendengar tawaran itu dariku. Aku ikut tersenyum namun masih sulit mengembangkannya dengan sempurna.
“Makasih ya, Nur. Ummi ke kamar dulu yah. Ada kerjaan yang belum selesai dari yayasan,” kata Ummi. Aku mengangguk, masih dengan senyumku yang tak sempurna dan air mataku yang kutahan-tahan.
“Nur…,” kata Ummi terpotong. Aku menunggu kelanjutkan kalimatnya. Cepat katakan Ummi, aku tak bisa menahan air mata terlalu lama dan tak ingin Ummi melihatku menangis. “Ummi tidak kesepian, insya Alloh, Nur. Kamu tenang saja yah,” pernyataan Ummi membuatku kaget seakan tahu apa yang aku masih pertanyakan. Ummi langsung beranjak pergi setelah mengatakan itu, sedangkan aku masih berdiri kaku di tengah dapur. Air mata kini tak lagi bisa kubendung. Aku harus mengatakan apa yang kurasa dan yang kupikirkan selama ini pada Ummi, tekadku dalam hati.
Malam ini sulit sekali bagiku untuk sekedar memejamkan mata. Bayangan akan tatapan kepedihan ummi masih terus muncul di pelupuk mata. Sudah jam 2 malam dan aku masih saja sibuk dengan perasaanku sendiri. Bagaimana cara menyampaikannya, Rabb? Baru kali ini aku merasa sulit mengutarakan sesuatu pada Ummi, padahal biasanya begitu mudah bagiku untuk mengatakan apapun pada Ummi sekalipun itu adalah pendapat yang berbeda. Namun kali ini, mengapa? Apakah yang membuat perasaan urung senantiasa muncul tatkala mulut ini sudah siap mengatakannya? Ya Alloh, adakah aku akan menyakiti hati Ummi…
Aku putuskan untuk shalat tahajut. Semoga Alloh memberikan petunjuk dan menangkan hati ini. Setidaknya aku bisa tenang sedikit agar bisa sebentar saja tidur. Besok ada ujian, Nur. Jangan menzolimi tubuh dan otakmu, nasehatku sendiri. Aku beranjak pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, namun kulihat kamar Ummi tidak tertutup rapat. Ummi nih, kebiasaan. Kalau ada maling bagaimana?! Ketika hendak kututup, kulihat Ummi sedang tidur di meja kerjanya. Jilbab bergonya bahkan belum ia lepas. Laptop pun belum dimatikan. Kasian, Ummi, pasti lelah mengerjakan kerjaan yayasan di depan laptop sampai malam.
Kupegang bahu Ummi, bermaksud untuk membuat Ummi setengah sadar. Setidaknaya itu memudahkan Ummi untuk pindah ke tempat tidur. Namun tubuhku berhenti begitu saja. Mataku fokus pada tulisan yang ada di layar laptop Ummi.
Depok, 20 Agustus 2011
Mas, aku rindu. Setiap hari.
Mas, Nur hari ini terlihat sedih. Mungkin karena ia masih terngiang pertanyaan Ummi Sogi kemarin. Mungkin ia pun bertanya apakah ummi-nya kesepian selama ini. Aku tak bohong, Mas. Mana mungkin aku berbohong pada Nur, buah cinta kita. Aku sungguh tidak kesepian. Nur mampu mengisi hidupku walau kau tak lagi ada.
Tapi aku rindu, Mas. Rindu yang tak mampu aku jelaskan lagi seperti apa bentuknya. Rindu yang tak lagi bisa kusembunyikan dari mataku. Rindu yang membuatku selalu menuliskan catatan hati di laptopku, seakan-akan aku sedang berbicara denganmu.
Aku rindu, Mas. Rindu memelukmu di setiap tidur kita, rindu menjadi makmum dalam shalat berjama’ah kita, rindu tertawa atas lelucon ringanmu, rindu membuatkan makanan manis untukmu, rindu bermanja-manja di dadamu, rindu menunggumu pulang kerja, rindu membuatkan bekal makan siangmu, rindu mencium tanganmu, rindu memegang rambutmu, rindu melayanimu.. Aku rindu, Mas. Rindu menjadi istrimu.
Aku tidak kesepian, sungguh..
Aku hanya rindu padamu..
Maaf, Mas. Mungkin suatu hari aku akan menikah lagi jika Alloh mengizinkan dan menuliskan takdir seperti itu. Namun sampai saat ini, aku masih menginginkan apa yang pernah kuucapkan pada awal pernikahan kita 19 tahun lalu.
Aku ingin menjadi istrimu, dunia.. akhirat..
Bolehkah, Mas?
Alloh..
Ummi..
Astaghrifullah..
Mengapa tak pernah terpikirkan olehku bahwa Ummi ingin menjadi istri Abbi dunia akhirat?! Masya Alloh, Ummi…
Air mataku jatuh begitu derasnya. Isak tangisku tak mampu kubendung hingga kuputuskan untuk keluar kamar Ummi, membiarkan Ummi tetap tidur di meja kerjanya. Aku tak ingin Ummi tahu kalau aku membaca tulisan itu. Rasanya malu. Malu aku tidak mampu peka pada perasaan Ummi yang sebenarnya.
***
“Nur? Kamu sedang apa di dapur pagi-pagi begini? Kamu ndak mandi siap-siap ujian, nak?” tanya Ummi ketika baru saja keluar dari kamarnya. Ummi yang sudah rapi mengenakan baju rumah dan jilbab biru muda kesukaannya tampak terkejut melihatku yang terlihat sibuk menyiapkan sarapan banyak sekali. Sesekali terdengar dentingan antara satu piring dengan piring lain saat kuhidanagkan makanan demi makanan yang telah masak.
“Insya Alloh semua sudah siap, Ummi. Tapi sekarang, Nur ingin membuatkan Ummi sarapan special. Semua makanan kesukaan Ummi ada di meja makan. Puding mangga juga ada lho, Ummi. Yuk, makan yuk!” jawabku. Kali ini aku mampu mengembangkan senyum dengan maksimal. Untuk Ummiku yang cantik dan shalihah, seharusnya senyum seperti ini selalu mampu kupersembahkan.
Ummi, aku sayang padamu dan takkan pernah membuatmu merasa kesepian. Jika rumah ini adalah surga dunia kita, maka Nur akan bersabar untuk berkumpul lagi di surga akhirat nanti.. bersama Ummi.. bersama Abbi.
Insya Alloh…
1 komentar:
mkch gan infonya, mebel furniture jepara www.jeparadisemebeland.com salam kenal gan
Post a Comment